Nggak kerasa udah
setahun ini nggak ketak-ketik keyboard buat ngisi blog. Kemarin ini baru
ngobrol sama salah satu teman tentang blog, lantas kepikiran blog ini yang udah
lama nggak diurus bahkan nggak ditengok. Setelah obrolan itu rasanya pengen
nulis lagi. Ya, nulis. Nggak tau juga si sebenernya mau nulis apa, yang jelas
pengen nulis lagi aja.
Dan kebetulannya
kemarin ini baru selesai baca novel Hujan karya Tere Liye. Tahu Tere Liye kan? Pasti
tahu dong, masa nggak tahu. Tere Liye ini adalah penulis novel yang cukup terkenal
di kalangan pecinta novel dan telah melahirkan banyak novel yang laris manis di
pasaran dan menjadi best seller.
Bahkan ada yang telah diangkat ke layar lebar seperti Hafalan Shalat Delisa dan
Bidadari-bidadari Surga. Baru-baru ini dikabarkan pula akan ada 3 novel lain
karya Tere Liye yang akan difilmkan yaitu, Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci
Angin, Ayahku (bukan) Pembohong, dan Rembulan Tenggelam di Wajahmu. Namun
menurutku film yang diadaptasi dari novel tidak lebih baik dari novel itu
sendiri. Saat kamu membaca sebuah novel, imajinasimu melayang bebas melukiskan
apa yang diceritakan penulis dalam karyanya itu, tetapi saat kamu melihat cerita
itu diangkat ke layar lebar mungkin banyak dari imajinasi yang kamu bangun jauh
berbeda dengan apa yang digambarkan dalam film. Setelah itu kamu akan merasa
kecewa dan berkata, “Arhh! Kok filmnya gini??”. Namun sudahlah, bukan itu yang
akan kutulis di sini.
Bukan melupakan yang jadi masalahnya. Tapi menerima. Baransiapa yang bisa menerima, maka dia akan bisa melupakan, hidup bahagia. Tapi jika dia tidak bisa menerima, dia tidak akan pernah bisa melupakan”
Hujan merupakan
novel kesekian Tere Liye yang resmi dicetak awal Januari tahun ini. Walau terhitung
baru 2 bulan ini novel tersebut beredar, tapi peminatnya sudah banyak. Bahkan
novel Hujan ini telah masuk cetakan ketiga (dari novel yang kubaca, entah
sekarang).
Novel tersebut
menggambarkan perkembangan teknologi muktahir yang berkembang di muka bumi
di samping kisah cinta yang disajikan. Tokoh utama dalam novel ini adalah Lail. Lail
selalu suka hujan. Semua kejadian penting dalam hidupnya terjadi saat hujan.
Kejadian membahagiakan, menyedihkan, bahkan menyakitkan terjadi saat hujan
turun.
Lail merupakan
gadis yang pada usia 13 tahun harus melihat kehancuran dunia di mana salah satu
gunung api purba meletus dan menghancurkan sebagian besar kehidupan bumi. Dia kehilangan
kedua orang tuanya karena kejadian itu. Ia bahkan melihat sendiri bagaimana
sang ibu terjun bebas ke dalam lorong tangga darurat kereta api bawah tanah yang
runtuh karena gempa susulan. Dia hampir ikut terjun jatuh ketika hendak
menolong sang ibu, beruntung seorang anak laki-laki menarik tas punggungnya
tepat saat pegangan kedua tangannya terlepas. Di sanalah awal cerita hidupnya
dimulai, saat dia ditolong anak laki-laki berusia 15 tahun yang tanpa ia
ketahui akan menjadi sosok yang sangat penting dalam hidupnya. Anak laki-laki
itu bernama Esok.
Lail dan Esok tinggal
dalam pengungsian yang sama, dengan ibu Esok yang berhasil selamat walau harus
kehilangan kedua kakinya. Namun mereka harus terpisah saat Esok diangkat oleh
keluarga kaya yang juga bersedia mengurus sang ibu. Mereka bahkan harus terpisah
lebih jauh lagi saat Esok diterima untuk bersekolah di Universitas terbaik di
Ibu Kota.
Esok menjelma
menjadi ilmuwan muda hebat yang menciptakan teknologi mesin termutakhir saat
itu, sedangkan Lail menjadi relawan yang bahkan telah menunjukan dedikasi yang
luar biasa saat usianya masih 15 tahun. Mereka tetap masih berhubungan meski
hanya memiliki jadwal bertemu satu kali dalam setahun.
Walau sebagian
wilayah telah bangkit dari bencana letusan gunung api, ternyata masalah akibat letusan
gunung api itu belum seutuhnya terselesaikan bahkan bertahun-tahun setelahnya.
Masalah-masalah lain yang lebih serius bahkan muncul di tengah perkembangan
terkonogi. Umat manusia saat itu mulai merusak diri mereka sendiri tanpa
disadari. Secara rahasia ada sebuah proyek rahasia untuk menyelamatkan umat
manusia agar tetap bertahan dan tidak punah akibat sesuatu yang mereka perbuat
sendiri. Dalam misi itu Esok ikut serta dan tak ada orang yang tahu. Lail baru
tahu pada detik-detik terakhir.
Selain sosok Lail
dan Esok, adapula Maryam dan Caludia. Maryam, gadis berambut kribo yang menjadi
teman terbaik Lail, sedangkan Claudia merupakan adik angkat Esok yang berhasil
memancing kecemburuan Lail. Dalam novel ini digambarkan Lail yang terus
menunggu ketidakpastian. Bahkan ia masih harus menunggu hingga detik terakhir
yang paling menyakitkan saat dia memutuskan untuk memodifikasi ingatannya
tentang Esok. Bagaimana kisah mereka sebenarnya? Lebih baik kalian baca
sendiri, karena aku takut aku tidak bisa menuliskannya secara detail.
Novel ini seperti
karya Tere Liye lainnya, disuguhkan dalam bahasa yang indah. Walau pada bagian
awal disuguhkan cerita yang berbau ilmiah dan membuat bosan (Ya, aku memang
tidak tertalu suka novel yang berbau ilmiah dan serius), tetapi semakin dibaca
ke belakang semakin menyenangkan dan membuat penasaran. Nah buat kamu-kamu yang
suka baca novel, novel ini cukup baik untuk direkomendasikan. Selamat membaca! J
0 komentar:
Posting Komentar